LGBT dan Cocoklogi HAM

Mari saya perkenalkan sebuah aliran berfikir baru yang bernama Cocoklogi. Saya anggap baru karena belum resmi menjadi rujukan filosofis sebagai sebuah mahzab epistemologi. Walaupun sejak masa kuliah, terminologi ini telah menjadi hal yang lumrah dalam diskusi-diskusi kami bersama segelas kopi.

Cocoklogi adalah istilah yang sering kami sematkan kepada mereka yang berfikir tanpa dasar filosofis. Kami tidak bisa mengatakan mereka empirisme, karena mereka bahkan tidak pernah membaca karya-karya Jhon Locke, ataukah Rasionalis karena mereka bahkan tidak tahu sejarah renaissance dan cogito ergo sum dari Rene Descartes. Kami juga tidak bisa mengkategorikan mereka sebagai skripturalis karena mereka bahkan tidak pernah membaca buku-buku seputar mahzab epistemologi. Apalagi menyebut mereka idealisme, dimana Plato sendiri telah menghembuskan nafasnya yang terakhir sekitar abad ke 4 sebelum masehi.

Maka dari itu, kami sering menyebut mereka sebagai orang-orang bermahzab cocoklogi. Dari kata “cocok” dan “logos”. Ilmu tentang mencocok-cocokkan sesuatu walaupun hal tersebut belum tentu cocok. Seperti kata “cocoklogi” itu sendiri, dimana antara kata “cocok” dan “logos” memliki dasar linguistik yang berbeda. Namun tetap saja enak untuk didengar ketika dicocokkan, tanpa harus mengkaji lebih dalam kedua terminologi tersebut.

Karakter utama mahzab cocoklogi adalah mencocokkan sesuatu walaupun sebenarnya merupakan hal yang bertentangan dan tanpa dasar, bahkan menjadikannya sebagai rujukan berfikir. Misalnya, saya mengatakan bahwa “saya telah membunuh seseorang untuk mempertahankan hidupnya”. Kalimat saya ini menjadi cocoklogi karena saya telah memaksakan “mempertahankan hidup” sebagai alasan untuk “membunuh”, walaupun faktanya “hidup” dan “mati” adalah dua hal yang bertentangan.

Dalam contoh sederhana itu, kita masih dapat melihat kegilaan mereka yang menggunakan cara berfikir ini, karena pada contoh tersebut perbedaan antara kedua hal yang bertentangan masih sangat jelas. Namun, ketika diterapkan pada hal-hal yang telah dibungkus otoritas dan kajian yang diklaim ilmiah, tetap saja masih banyak yang terjebak dengan cara berfikir ini. Bahkan menggunakan mahzab ini sebagai rujukan berfikirnya, termasuk dalam fenomena LGBT.

Sejak Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis di seluruh wilayah Negara pada tanggal 26 Juni 2015, banyak orang yang merayakannya seperti sebuah kemenangan besar. Mereka tampak seperti baru pulang dari sebuah peperangan panjang bertahun-tahun yang menyita seluruh energinya. Suka cita setidaknya tampak dari banyaknya foto profil di sosial media yang dengan sekejap terganti dengan warna pelangi yang merupakan warna kebesaran kaum LGBT.

Seandainya yang menjadi Hakim di Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah Karl Marx, mungkin putusan tersebut akan diakhiri dengan statement legendaris “Wahai kaum Lesbian, Gay, Bisexual dan Transportasi… eh, Transgendeng… Transgender di seluruh dunia… bersatulah ciyyn…!!!”

Ini menarik, karena keputusan pelegalan pernikahan sejenis oleh Mahkamah Agung Amerika tersebut hanya berlaku untuk internal negaranya, namun entah kenapa euphoria kemenangannya dirayakan di seluruh dunia oleh mereka yang bahkan tidak memiliki bukti administrasi apapun sebagai warga Negara Amerika Serikat.

Argumennya sederhana, mereka hanya mengatakan bahwa mereka sepakat dengan pernikahan sejenis karena itu adalah bentuk perjuangan menegakkan Hak Asasi Manusia. Statement ini tentu saja menarik, walaupun sebagian besar merupakan aktivis-aktivis latah. Namun setidaknya sampai saat saya menulis tulisan ini isu LGBT masih hangat diperbincangkan. Bahkan Menristekdikti pun masih membahas fenomena ini beberapa hari yang lalu.

Fenomena ini pun menjadi perdebatan. Berbagai macam rasionalisasi muncul, mulai dari yang paling eksterim yang mengatakan bahwa LGBT merupakan fitrah atau ada manusia yang terlahir sebagai seorang homosexual (mungkin yang terlahir dari sperma ketemu sperma), sampai yang paling moderat yaitu mereka yang berlindung dibalik argument penegakan Hak Asasi Manusia. Terlepas dari perdebatan yang ada, mungkin ada baiknya kita sedikit berfikir lebih realistis. Maksudnya, mari kita melepaskan ego organisasi, doktrin, ideologi dan kembali ke fakta-fakta biologis yang saya pikir pernah kita pelajari di sekolah apabila kita semua memang pernah bersekolah. Karena, berfikir terlalu jauh tentang HAM akan membawa perdebatan tentang legalisasi LGBT ke arah perdebatan kusir. Apalagi jika diskusinya dengan mereka yang latah aktivis, tentu saja akan menjadikan perdebatan tersebut tanpa referensi.

Mari sedikit merenung, karena Tuhan tidak pernah menciptakan Adam dan Steve sebagai sepasang manusia pertama. Fakta itu menjelaskan bahwa dari perspektif yang paling empiris (proses biologis), tidak ada satupun manusia yang lahir dari bertemunya sperma dengan sperma atau ovum dengan ovum. Untuk mengerti fakta biologis ini, kita tidak perlu agama atau organisasi apapun. Semua agama tahu bahwa manusia lahir dari proses sperma yang berenang mencari ovum. Kecuali mereka yang menganggap bahwa ada manusia yang bisa lahir dari proses pencangkokan atau stek seperti tumbuhan atau dari proses membelah diri seperti amoeba.

Fakta ini kemudian menunjukkan sebuah hal sederhana. Bahwa regenerasi manusia -  (agar kedepannya tim national georgraphic tidak menjadikan manusia sebagai objek konservasinya sebagaimana mereka mengkonservasi kura-kura Galapagos) – hanya dilakukan melalui satu cara ini. Proses heterogenitas sexual. Hal mana mengartikan bahwa proses selain heterogenitas sexual (homosexual) tidak akan bisa melahirkan satu manusia pun. Atau bisa dikatakan, heterogenitas sexual yang menjadi cara lahirnya menusia bertentangan dengan homosexual yang tidak melahirkan manusia. Atau sederhananya (kalau memang masih berat untuk dipahami), kalian tidak akan pernah lahir di muka bumi ini jika ayah kalian menikah dengan laki-laki lain.

Maka dari itu, homosexual dan sekutunya sampai Metallica merilis sebuah album religi tidak akan mungkin bisa melahirkan seorang pun manusia. Dapatkah kalian membayangkan apabila ada sebuah pulau yang dihuni oleh seluruh laki-laki/perempuan yang homosexual? Apakah kalian masih yakin bahwa akan ada seorang anak yang lahir di pulau tersebut? Tentu saja yang akan terjadi adalah semua orang di pulau itu akan mati sebelum negara api menyerang…. maksudnya tanpa generasi penerus. Hal mana disebabkan homosexual akan menggiring ras manusia menuju kepunahan.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Hak Asasi Manusia bisa ada tanpa adanya manusia? Mari kembali ke pelajaran dasar tentang struktur kalimat. Bahwa dalam terminologi “Hak Asasi Manusia” manusia diposisikan sebagai objek. Artinya, tanpa manusia, kita tidak akan pernah bisa memahami apa yang dimaksud “Hak Asasi Manusia”. Oleh karena itu, pekerjaan pertama yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang membela HAM adalah berfikir untuk melestarikan manusia sebagai objek HAM. Karena apabila manusia tidak ada, jangankan untuk ditegakkan, bahkan HAM pun akan hilang bersama dengan punahnya manusia.

Maka dari itu, saya agak sedikit tergelitik (hampir tertawa terbahak-bahak) melihat banyaknya aktivis-aktivis latah mendukung LGBT yang berujung pada punahnya manusia dengan mengatasnamakan HAM. Padahal, HAM sesuatu yang hanya ada bersama dengan eksisnya manusia, jelas bertentangan dengan homosexual yang menghilangkan eksistensi manusia. Hal ini seperti menjadikan “kelestarian hidup” sebagai alasan untuk mendukung “pembunuhan”. Cocoklogi!!!

Comments

  1. Maaf yah, kalau komentar mungkin baiknya pakai identitas asli. Jangan sampai hanya bisa memaki tapi masih malu untuk menunjukkan identitas asli mendukung LGBT. Kata2 nya juga tolong yang sopan dan ilmiah. Kalau pakai kata2 "mastrubasi" sy pikir itu tidak ilmiah dikeluarkan oleh orang yg menyuruh saya untuk berfikir ilmiah.

    Salam hangat.

    ReplyDelete
  2. Saya membuka ruang yang sebesar-besarnya untuk berdiskusi. Namun saya akan menghapus komentar yang menggunakan akun anonim. Mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya menganggap itu spam.

    Salam hangat.

    ReplyDelete
  3. Malem kak,senang bacanya blognya bahas dr isu yg paling dasar tanpa bawa2 agaama dan lain2 ,saya sepakat homoseksualitas itu penyakit namanya penyakit yg dihindari itu orangnya bukan penyakitnya ,temen2 saya ada beberapa yg "melambai" dan mereka melambai beujung jd homo karena banayak faktor paling sering faktor keluarga ,saya sebagai teman yg bukannya mau homod dilegalkan tetapi temean yg udah jd homo dibini dirawat dan saya yakin mereka bs sembuh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Difa sebelumnya atas komentarnya. Apapun itu homosexual itu cara berfikir. Memerangi cara berfikirnya tidak harus membenci orangnya.

      Saya sepakat, kebanyakan mereka yang terjerat Homosexual karena faktor keluarga. Jadi pada dasarnya bisa disembuhkan asal menggunakan pendekatan yang tepat.

      Delete
  4. Thank you for replay komenn saya yg banyak typonya heheh

    Ia kak yg salah skrg itu mereka nggk mengaggap itu penyakit mereka mengaggap haks asasi ,pola pikir yg salah kan berujung cara penanggulangan yg salah kak..
    I lil bit concern with this topic dr smp (bahkan belum tau apa itu homo or lesbi) saya sudah liat kaka tingkat saya di pesantren jadi lesbi,sampe terakhir sahabat saya sma pun seorang buci (the man in the lesbian relation) dan terakhir itu jadi "kucing" melihat mereka2 saya ibaa sebetulnya karena mereka2 ini ngelihat latar belakang masa kecil samapai puberitas punya kasus yg hampir2 mirip yaitu mereka rapuh terhadap masalah . Kalo di telaaah lebih jauhhh orang yg bilang mereka homo /lesbi dr kecil bahkan dr rahim adalah orang2 yg punya masalalu suram and they can't survive itu ajaa jadi penyembuhaannya memang harus intensif ,beda sama homo/lesbi yg jadi2an atau cuma ngikutin trend atau yg sengaja biseksual biar bisa "makan" ,ada lagi mereka yg gay/lesbi karena jatuh cinta sama gay yg katanya dr lahir ini yg paraaah kak menurut saya dan mereka menularkan "penyakit" ini atas nama cinta.Padahal kan cinta rejeki Tuhan yg paling agung ,masa' Tuhan ngasih sesuatu padahal sesuatu itu itu tidak berjalan sesuai aturannyaa



    Makasih kak mau sharing ,maaaf banyak kayak orang curhat

    ReplyDelete
    Replies
    1. ternyata Difa banyak pengalaman empiris tentang kehidupan kaum Homosexual. Terima kasih sudah berkenan untuk berbagi di blog ini.

      itulah yang saya sebut sebagai cara berfikir. ada cara berfikir yang berbeda antara mereka yang LGBT dengan mereka yang menolak. cara berfikir yang berbeda terhadap bagaimana melihat sebuah hubungan antara lawan jenis.

      Dalam perspektif manusia, seharusnya manusia memiliki cara pandang yang lebih dari binatang khususnya dalam masalah sexualitas. kalau binatang hanya melihat sebatas nafsu, maka manusia seharusnya lebih dari itu. melihat hubungan sexualitas sebagai cara membentuk peradaban.

      maka dari itu, di semua perspektif tentang etika, LGBT dianggap penyimpangan karena tidak sesuai dengan tujuan manusia malkukan kegiatan sexual yaitu membentuk peradaban.

      saya sepakat dengan fakta psikologis, bahwa memang salah satu penyebab seseorang akhirnya harus memilih untuk menjadi LGBT adalah lemahnya kondisi psikologis mereka. namun mungkin perlu disampaikan bahwa psikologis bukan bawaan lahir. psikologis tergantung pengetahuan manusia, seberapa kuat dia bisa bertahan dengan pengetahuannya.

      Pengetahuan yang lemah itu pula, yang membuat mereka salah mengerti tentang cinta.

      Semoga kita bisa diskusi lebih banyak lagi tentang ini. senang berkenalan dengan Difa. terima kasih sudah berkenan komentar dan berbagi.

      Salam hangat.

      Delete
  5. Mantap ini, ijin share... Sejalan dengan fikiran saya cuma saya ga bisa nulis sebagus ini :P

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism